Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pembentukan Provinsi Riau ditetapkan dengan
Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian diundangkan dalam
Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan provinsi lain yang ada di
Indonesia, untuk berdirinya Provinsi Riau memakan waktu dan perjuangan yang
cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17
November 1952 s/d 5 Maret 1958).
Dalam Undang-undang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera
Barat, Jambi dan Riau, Jo Lembaran
Negara No 75 tahun 1957, daerah swatantra Tingkat I Riau meliputi wilayah
daerah swatantra tingkat II ;
- Bengkalis
- Kampar
- Indragiri
- Kepulauan Riau, termaktub dalam UU No. 12 tahun 1956 (L. Negara tahun 1956 No.25)
- Kotaparaja Pekanbaru, termaktub dalam Undang-undang No. 8 tahun 1956 No. 19
Dengan surat keputusan Presiden tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958
telah diangkat Mr. S.M. Amin, Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada
tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman. Pelantikan
tersebut dilakukan di tengah-tengah klimaksnya gerakan koreksi dari daerah
melalui PRRI di Sumatera
Tengah yang melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian, Pemerintah
Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan kegiatannya
untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.
Seiring dengan terjadinya gerakan koreksi dari daerah melalui PRRI, telah
menyebabkan kondisi perekonomian di Provinsi Riau yang baru terbentuk semakin
tidak menentu. Untuk mengatasi kekurangan akan makanan, maka diambil tindakan
darurat, para pedagang yang mampu dikerahkan untuk mengadakan persediaan bahan
makanan yang luas. Dengan demikian dalam waktu singkat arus lalu lintas barang
yang diperlukan rakyat berangsur-angsur dapat dipulihkan kembali.
Di Riau Daratan yang baru dibebaskan dari pengaruh PRRI, pemerintahan di
Kabupaten mulai ditertibkan. Sebagai Bupati Inderagiri di Rengat ditunjuk
Tengku Bay, di Bengkalis Abdullah Syafei. Di Pekanbaru dibentuk filial Kantor Gubernur yang
pimpinannya didatangkan dari kantor Gubernur Tanjungpinang, yaitu Bupati Dt.
Wan Abdurrachman dibantu oleh Wedana T. Kamaruzzaman.
Pemindahan Ibukota
Karena situasi daerah telah mulai aman, maka oleh pemerintah (Menteri Dalam
Negeri) telah mulai dipikirkan untuk menetapkan ibukota Provinsi Riau secara
sungguh-sungguh, karena penetapan Tanjung
Pinang sebagai ibukota provinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini Menteri
Dalam Negeri telah mengirim kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30
Agustus 1958 No. Sekr.
15/15/6.
Untuk menanggapi maksud kawat tersebut secara sungguh-sungguh dan penuh
pertimbangan yang cukup dapat dipertanggung jawabkan, maka Badan Penasehat
meminta kepada Gubernur supaya membentuk suatu Panitia khusus. Dengan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau tanggal 22 September
1958 No.21/0/3-D/58 dibentuk panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah
Swatantra Tingkat I Riau.
Panitia ini telah berkeliling ke seluruh Daerah Riau untuk mendengar
pendapat-pendapat pemuka-pemuka masyarakat, penguasa Perang Riau Daratan dan
Penguasa Perang Riau Kepulauan. Dari angket langsung yang diadakan panitia
tersebut, maka diambillah ketetapan, bahwa sebagai ibukota terpilih Kota Pekanbaru. Pendapatan ini
langsung disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri. Akhirnya tanggal 20
Januari 1959 dikeluarkan Surat
Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota
Provinsi Riau.
Untuk merealisir ketetapan tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia
interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru
menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk
pula suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan
Letkol. Kaharuddin Nasution.
Sejak itulah mulai dibangun Kota Pekanbaru dan untuk tahap pertama
mempersiapkan bangunan-bangunan yang dalam waktu singkat dapat menampung
pemindahan kantor-kantor dan pegawai-pegawai dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru.
Sementara persiapan pemindahan secara simultan terus dilaksanakan, perubahan
struktur pemerintahan daerah berdasarkan Penpres No.6/1959 sekaligus
direalisir.
Gubernur Mr. S.M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang
dilantik digedung Sekolah Pei Ing Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960. Karena Kota
Pekanbaru belum mempunyai gedung yang representatif, maka dipakailah gedung
sekolah Pei Ing untuk tempat upacara.
Dengan dilantiknya Letkol Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka
struktur Pemerintahan Daerah Tingkat I Riau dengan sendirinya mengalami pula
perubahan. Badan Penasehat Gubernur Kepala Daerah dibubarkan dan pelaksanaan
pemindahan ibukota dimulai. Rombongan pemindahan pertama dari Tanjungpinang ke
Pekanbaru dimulai pada awal Januari 1960 dan mulai saat itu resmilah Pekanbaru
menjadi ibukota.
Aparatur pemerintahan daerah, sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai
dilengkapi dan sebagai langkah pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri tanggal 14 April 1960 No. PD6/2/12-10 telah dilantik Badan Pemerintah
Harian bertempat di gedung Pei Ing Pekanbaru dengan anggota-anggota terdiri
dari :
Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian tersebut merupakan
pembantu-pembantu Gubernur Kepala Daerah untuk menjalankan pemerintahan
sehari-hari. Di dalam rapat Gubernur, Badan Pemerintah Harian dan Staff Residen
Mr. Sis Tjakraningrat, disusunlah program kerje Pemerintah Daerah, yang
dititik beratkan pada :
- Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk kemakmuran rakyat.
- Menggali sumber-sumber penghasilan daerah
- Menyempurnakan aparatur.
Program tersebut dilaksanakan secara konsekwen sehingga dalam waktu singkat
jalan raya antara Pekanbaru sampai batas Sumatera
Barat siap dikerjakan. Jalan tersebut merupakan kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan
keuangan daerah mulai kelihatan nyata, sehingga Kas Daerah yang pada mulanya
kosong sama sekali, mulai berisi. Anggaran Belanja yang diperbuat kemudian
tidak lagi merupakan anggaran khayalan tetapi betul-betul dapat dipenuhi dengan
sumber-sumber penghasilan sendiri sebagai suatu daerah otonom.
Disamping itu atas prakarsa Gubernur Kaharuddin Nasution diusahakan pula
pengumpulan dana disamping keuangan daerah yang sifatnya inkonvensional. Dana
ini diperdapat dari sumber-sumber di luar anggaran daerah, dan hasilnya
dimanfaatkan untuk pembangunan, diantaranya pembangunan pelabuhan baru beserta
gudangnya, gedung pertemuan umum (Gedung Trikora), gedung Universitas
Riau, Wisma Riau Mesjid Agung, Asrama Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di
Yogyakarta dan lain-lain.
Untuk penyempurnaan pemerintahan daerah, disusunlah DPRD-GR. Untuk itu
ditugaskan anggota BPH Wan Ghalib dengan dibantu Bupati Dt. Mangkuto Ameh untuk
mengadakan hearing dengan partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa
dalam menyusun komposisi. Sesuai dengan itu diajukan sebanyak 38 calon anggota
yang disampaikan kepada menteri dalam negeri Ipik Gandamana.
Usaha untuk menyempurnakan Pemerintah Daerah terus ditingkatkan, disamping
Gubernur Kepala Daerah, pada tanggal 25 April 1962 diangkat seorang Wakil Gubernur kepala Daerah, yaitu Dt. Wan
Abdurrahman yang semula menjabat Walikota Pekanbaru, jabatan Walikota
dipegang oleh Tengku Bay.
Masuknya unsur-unsur Nasional dan Komunis dalam tubuh BPH disebabkan saat
itu sudah merupakan ketentuan yang tidak tertulis, bahwa semua aparat
pemerintahan harus berintikan “NASAKOM”. Kemudian Penpres No. 6 tahun 1959
diganti dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang
pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Nasakomisasi diterapkan tidak melalui
ketentuan perundang-undangan tetapi tekanan-tekanan dari atas.
Sejalan dengan itu dibentuk pula pula apa yang dinamakan Front Nasional
Daerah Tingkat I Riau, yang pimpinan hariannya terdiri dari unsur Nasakom.
Front Nasional ini mengkoordinir semua potensi parta-partai politik dan
organisasi-organisasi massa. Dengan sendirinya di dalam Front Nasional ini
bertarung ideologi yang bertentangan, yang menurut cita-cita haruslah
dipersatukan.
Kedudukan pimpinan harian Front Nasional ini merupakan kedudukan penting,
karena mereka menguasai massa rakyat. Karena itu pulalah Pimpinanan Harian
tersebut didudukkan di samping Gubernur Kepala Daerah, yang merupakan anggota
Panca Tunggal. Atas dasar Nasakomisasi ini, maka golongan komunis telah dapat
merebut posisi yang kuat. Ditambah pula dengan tekanan-tekanan pihak yang
berkuasa, maka peranan komunis dalam Front Nasional tersebut sangat menonjol.
Di samping penyempurnaan aparatur pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah
dirasakan pula bahwa luasnya daerah-daerah kabupaten yang ada dan
batas-batasnya kurang sempurna, sehingga sering menimbulkan stagnasi dalam
kelancaran jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi adanya hasrat rakyat dari
beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan Siapi-api dan lain-lain
yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan Kabupaten. Untuk itu
maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada tanggal 15 Desember 1962 dengan
SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu panitia.
Hasil kerja dari pantia tersebut menjadikan Provinsi Riau 5 (lima) buah
daerah tingkat II dan satu buah Kotamadya.
- Kotamadya Pekanbaru : Walikota KDH Kotamadya Tengku Bay.
- Kabupaten Kampar : Bupati KDH R. Subrantas
- Kabupaten Indragiri Hulu : Bupati KDH. H. Masnoer
- Kabupaten Indragiri Hilir : Bupati KDH Drs. Baharuddin Yusuf
- Kabupaten Kepulauan Riau : Bupati KDH Adnan Kasim
- Kabupaten Bengkalis : Bupati KDH H. Zalik Aris
Sewaktu pemerintah pusat memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Singapura, serta
ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan Presiden Republik
Indonesia tahun 1963, maka yang paling dahulu menampung
konsekwensi-konsekwensinya adalah daerah Riau. Daerah ini yang berbatasan
langsung dengan kedua negara tetangga tersebut dan orientasi ekonominya sejak
berabad-abad tergantung dari Malaysia dan Singapura sekaligus menjadi kacau.
Untuk menghadapi keadaan yang sangat mengacaukan kehidupan rakyat tersebut,
dalam rapat kilat yang diadakan Gubernur beserta anggota-anggota BPH, Catur
Tunggal dan Instansi-instansi yang bertanggung jawab, telah dibahas situasi
yang gawat tersebut serta dicarikan jalan keluar untuk bisa mengatasi keadaan.
Kepada salah seorang anggota BPH ditugaskan untuk menyusun suatu konsep program
yang meliputi semua bidang kecuali bidang pertanahan, dengan diberi waktu satu
malam. Dalam rapat yang diadakan besok paginya konsep yang telah disusun
tersebut diterima secara mutatis
mutandis.
Tetapi nyatanya pemerintah pusat waktu itu tidak dapat melaksanakan program
tersebut sebagaimana yang diharapkan terutama tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi langsung oleh rakyat, seperti
pengiriman bahan pokok untuk daerah-daerah Kepulauan dan penyaluran hasil produksi
rakyat.
Dalam bidang moneter diambil pula tindakan-tindakan drastis dengan
menghapuskan berlakunya mata uang dollar Singapura/Malaysia di Kepulauan Riau,
serta menggantinya dengan KRRP (Rupiah Kepualaun Riau) yang berlaku mulai
tanggal 15 Oktober 1963. Untuk melaksanakan pengrupiahan Kepualauan Riau
tersebut, diberikan tugas kepada Team Task Force II dibawah pimpinan Mr. Djuana
dari Bank Indonesia.
Dengan perubahan-perubahan pola ekonomi secara mendadak dan menyeluruh
dengan sendirinya terjadi stagnasi. Perekonomian jadi tidak menentu. Arus
barang terhenti, baik keluar maupun masuk. Daerah Riau yang pada dasarnya
adalah penghasil barang ekspor, akhirnya menjadi kekeringan. Barang-barang
produksi rakyat, terutama karet menjadi menumpuk dan tak dapat di alirkan,
barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk kecuali yang didatangkan oleh
pemerintah sendiri yang tebatas hanya di kota-kota pelabuhan. Kebijaksanaan
yang diambil pemerintah kemudian tidak meredakan keadaan, malahan menambah
kesengsarahan rakyat, terutama di bidang ekonomi dan keamanan.
Untuk menanggulangi bidang ekonomi, di pusat dibentuk Komando Tertinggi
Urusan Ekonomi (Kotoe) yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri I Dr.
Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur Kaharuddin Nasution sebagai pembantu
Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di tunjuk PT. Karkam dengan hak monopoli untuk
menampung seluruh karet rakyat dan mengekspor keluar negeri. Kondisi ini justru
semakin memperburuk perekonomian rakyat.
Pada tahun–tahun terakhir masa jabatan Gubernur Kaharuddin Nasution terjadi
ketegangan dengan pemuka-pemuka masyarakat Riau. Dari segi politis, ketegangan
dengan tokoh-tokoh masyarakat Riau telah berjalan beberapa tahun yang
berpangkal pada politik kepegawaian. Pemuka-pemuka daerah berpendapat bahwa
Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu banyak memberikan kedudukan-kedudukan
kunci kepada orang-orang yang dianggap tidak mempunyai iktikad baik terhadap
daerah Riau. Hal ini ditambah pula dengan ditangkapnya Wakil Gubernur Dt. Wan
Abdul Rachman yang difitnah ikut dalam gerakan membentuk negara RPI (Republik
Persatuan Indonesia), fitnahan ini dilansir oleh PKI. Akibatnya Dt. Wan
Abdurrachman diberhentikan dari jabatannya dengan hak pensiun.
Kebangkitan Angkatan 66 dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Riau
bukanlah suatu gerakan spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66 timbul
dari suatu embrio proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep Nasakom Orde
Lama menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam segala aspek kehidupan
nasional. Lembaga-lembaga Negara tidak berfungsi sebagaimana yang diatur dalam
UUD 1945. Penetrasi proses Nasakomisasi ke dalam masyarakat Pancasilais
menimbulkan keretakan sosial dan menggoncangkan sistem-sistem nilai yang
menimbulkan situasi konflik. Di tambah lagi adanya konfrontasi dengan Malaysia
yang menyebabkan rakyat Riau sangat menderita karena kehidupan perekonomian
antara Riau dengan Malaysia menjadi terputus.
Demikianlah penderitaan, konfrontasi dan kemelut berlangsung terus dan
suasana semakin panas di Riau. Menjelang meletusnya G 30 S/PKI kegiatan
tokoh-tokoh PKI di Riau makin meningkat. Mereka dengan berani secara langsung
menyerang lawan-lawan politiknya. Tokoh-tokoh PKI Riau Alihami Cs mempergunakan
kesempatan dalam berbagai forum untuk menghantam lawan-lawannya dan menonjolkan
diri sebagai pihak yang revolusioner. Begitu juga masyarakat Tionghoa yang
berkewargaan negara RRT memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Malam
tanggal 30 September 1965 mereka yang tergabung dalam Baperki bersama-sama
dengan PKI Riau mengadakan konsolidasi dan Show of force dalam memperingati
Hari Angkatan Perang Republik Indonesia, jadi sehari mendahului waktu
peringatan yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya; PKI beserta ormas-ormasnya
memboikot sidang pleno lengkap Front Nasional Riau yang langsung dipimpin oleh
Gubernur Kaharuddin Nasution pada tanggal 30 September 1965. Ternyata kegiatan
dan pergerakan PKI beserta ormas-ormasnya adalah untuk merebut pemerintahan
yang syah. Kondisi ini akhirnya bisa di akhiri, perjuangan generasi muda Riau
tidak sia-sia, rezim Orde Lama di Riau tamat sejarahnya dan Kolonel Arifin
Achmad diangkat sebagai care taker Gubernur/KDH Riau pada tanggal 16 Nopember
1966. Mulai saat itu tertancaplah tonggak kemenangan Orde Baru di Riau.
Dengan diangkatnya Kolonel Arifin Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala
Daerah Provinsi Riau terhitung mulai tanggal 16 Oktober 1966 dengan surat
keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP/4/43-1506. pelantikannya dilakukan oleh
Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Basuki rachmad dalam suatu sidang pleno
DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15 Nopember 1966. Kemudian pada tanggal 16
Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau mengukuhkan Kolonel Arifin Achmad sebagai
Gubernur Riau dengan Surat Keputusan Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri
mengesyahkan pengangkatan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah
Provinsi Riau untuk masa jabatan 5 tahun, dengan Surat Keputusan No.
UP/6/1/36-260, tertanggal 24 Februari 1967. Surat Keputusan tersebut
diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik Indonesia Nomor :
146/M/1969 tertanggal 17 Nopember 1969.
Pascareformasi
Seiring dengan berhembusnya “angin reformasi’ telah memberikan perubahan
yang drastis terhadap negeri ini, tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri.
Salah satu perwujudannya adalah dengan diberlakukannya pelaksanaan otonomi
daerah yang mulai di laksanakan pada tanggal 1 Januari 2001. Hal ini
berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah baru di Indonesia, dari 27
Provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 32 Provinsi. Tidak terkecuali
Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi menjadi
provinsi ke-32 di Indonesia, itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri
dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 12 Kabupaten/Kota.
Kabupaten-kabupaten tersebut adalah;
- Kotamadya Pekanbaru ibukotanya Pekanbaru
- Kotamadya Dumai ibukotanya Dumai
- Kabupaten Indragiri Hulu ibukotanya Rengat
- Kabupaten Kuantang Singingi ibukotanya Teluk Kuantan (pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu)
- Kabupaten Indragiri Hilir ibukotanya Tembilahan
- Kabupaten Kampar ibukotanya Bangkinang
- Kabupaten Pelalawan ibukotanya Pangkalan Kerinci (pemekaran dari Kabupaten Kampar)
- Kabupaten Rokan Hulu ibukotanya Pasir Pengaraian (pemekaran dari Kabupaten Kampar)
- Kabupaten Bengkalis ibukotanya Bengkalis
- Kabupaten Siak ibukotanya Siak Sri Indrapura (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis)
- Kabupaten Rokan Hilir ibukotanya Bagan Siapi-api (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis)
- Kabupaten Kepulauan Meranti ibukotanya Selat Panjang (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis)
Daftar Gubernur Riau
Hingga sekarang pejabat Gubernur Riau sudah mengalami beberapa kali
pergantian, yaitu :
- Mr. S.M. Amin Periode 1958 – 1960
- H. Kaharuddin Nasution Periode 1960 – 1966
- H. Arifin Ahmad Periode 1966 – 1978
- Hr. Subrantas.S Periode 1978 – 1980
- H. Prapto Prayitno (Plt) 1980
- H. Imam Munandar Periode 1980 – 1988
- H. Baharuddin Yusuf (Plh) 1988
- Atar Sibero (Plt) 1988
- H. Soeripto Periode 1988 – 1998
- H. Saleh Djasit Periode 1998 – 2003
- H.M. Rusli Zainal Periode 2003 - September 2008 dan periode November 2008 - sekarang.
- H. Wan Abubakar MSi Periode September 2008 - Nopember 2008 (Plt. Gubernur, karena Gubernur incumbent mengundurkan diri mengikuti Pilkada Gubernur Riau periode 2008 - 2013)
- H.M. Rusli Zainal Periode 2008 - sekarang
0 komentar:
Posting Komentar